Dalam sebuah hadits riwayat al-Hafizh al-Baihaqi dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas bahwa segolongan kaum Yahudi datang kepada Rasulullah. Mereka berkata: “Wahai Muhammad, beritahukan kepada kami sifat Tuhanmu yang engkau sembah!”. Mereka bertanya bukan karena ingin mengetahui hal sebenarnya atau ingin memperoleh petunjuk, tapi hanya sekedar ingin mengingkari lalu mengolok-oloknya. Kemudian turunlah QS. al-Ikhlas ayat 1 hingga ayat 4. Rasulullah bersabda: “Inilah sifat Tuhanku”.
Surat al-Ikhlas ini turun sebagi jawaban atas pertanyaan orang-orang Yahudi tersebut. Meskipun hanya terdiri dari empat ayat yang pendek namun mengandung makna yang sangat luas dan mendalam dalam ketauhidan Allah.
Ayat pertama merupakan ikrar dan penegasan bahwa tidak ada sekutu bagi Allah. Artinya tidak ada keserupaan bagi-Nya. Dia Maha Esa pada dzat-Nnya. Makna “Dzat Allah” artinya “hakikat Allah”. Makna “Dzat” di sini bukan dalam pengertian bentuk atau benda. Pengertian bahwa Dzat Allah Esa ialah bahwa Dzat Allah tidak menyerupai dzat-dzat makhluk-Nya. Karena Dzat Allah azali; ada tanpa permulaan, sedangkan dzat-dzat selain-Nya baharu; memiliki permulaan, yaitu ada dari tidak ada. Oleh karena itu, Allah mensifati dzat-Nya sendiri dalam al-Qur’an dengan firman-Nya:
هُوَ الأوَّلُ (الحديد:4)
“Hanya Dia (Allah) al-Awwal (ada tanpa permulaan)”. (QS. al-Hadid: 4)
Kemudian Allah maha Esa pada Sifat-Sifat-Nya. Artinya bahwa sifat-sifat Allah tidak menyerupai sifat-sifat makhluk-Nya. Allah berfirman:
وَللهِ المَثَلُ الأعْلَى (النحل:6)
“Dan bagi Allah sifat-sifat yang tidak menyerupai sifat selain-Nya”.(QS. an-Nahl: 6)
Sebagaimana kita wajib meyakini bahwa Dzat Allah Azali; tidak bermula, maka demikian pula dengan semua Sifat-Sifat-Nya, kita wajib meyakini itu semua Azali. Karena mustahil bila ada dzat yang qadim dan azali, sementara sifat-sifat-nya baharu. Karena adanya sifat yang baharu pada suatu dzat menunjukkan bahwa dzat tersebut juga baharu. Dengan demikian mustahil bagi Allah mempunyai sifat-sifat yang baharu. Bila sifat-sifat manusia setiap saat dapat mengalami perubahan, maka tidak demikian halnya dengan sifat-sifat Allah. Dia tidak mengalami perubahan atau perkembangan, tidak bertambah atau berkurang.
Kemudian Allah Maha Esa pada perbuatan-Nya. Artinya, tidak ada dzat yang dapat menciptakan sesuatu dari “tidak ada” menjadi “ada” kecuali Allah saja. Hanya Allah pencipta segala sesuatu. Dia pencipta kebaikan dan kejahatan, keimanan dan kekufuran, keta’atan dan kemaksiatan. Dia pencipta semua benda, mulai dari benda terkecil, yaitu dzarrah; (Ialah benda yang berterbangan terlihat oleh mata dalam sinar matahari), hingga benda yang paling besar, yaitu ‘arsy. Dia pencipta segala perbuatan manusia, baik perbuatan yang mengandung unsur ikhtiar (al-Af’al al-Ikhtiyariyyah), seperti makan, minum, dan lainnya, ataupun perbuatan yang tidak mengandung unsur ikhtiar (al-Af’al al-Idlthirariyyah), seperti detak jantung, rasa takut, dan lainnya. Inilah makna yang tersirat dalam firman Allah:
قُلْ إنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ (الأنعام:152)
“Katakanlah (Wahai Muhammad): Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah milik Allah, Tuhan seluruh alam”.(QS. al-An’am:162)
Shalat dan ibadah adalah dua diantara perbuatan-perbuatan yang mengandung unsur usaha, ikhtiar dan kehendak dari manusia. Sedangkan hidup dan mati adalah sesuatu yang terjadi di luar kehendak manusia, keduanya hanya menjadi wewenang dan kehendak Allah. Dalam doa tersebut ditegaskan bahwa shalat dan ibadah, serta hidup dan mati, pada hakikatnya adalah milik Allah dan hanya dicitakan hanya oleh Allah saja.
Ayat kedua dari surat QS. al-Ikhas di atas mengandung makna bahwa Allah Maha Kuasa atas seluruh alam ini. Dia tidak membutuhkan kepada sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Sebaliknya, seluruh makhluk-Nya selalu membutuhkan kepada-Nya. Allah tidak mengambil manfaat sedikitpun dari perbuatan-perbuatan makhluk-Nya, dan mereka sedikitpun tidak dapat mencelakakan-Nya atau membuat madlarat terhadap-Nya. Seandainya seluruh makhluk ini ta’at kepada Allah, maka hal tersebut tidak akan menambah kekuasaan-Nya dan kemuliaan-Nya sedikitpun. Demikian pula bila seluruh makhluk berbuat maksiat kepada-Nya, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan dan keagungan Allah sedikitpun.
Allah menciptakan para Malaikat bukan untuk mendapatkan bantuan dari mereka. Demikian pula Ia menciptakan ‘arsy bukan untuk menjadikan tempat bagi dzat-Nya, tetapi untuk menampakkan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya. Tentang hal ini al-Imam ‘Ali ibn Abi Thalib berkata:
إنَّ اللهَ خَلَقَ العَرْشَ إظْهَارًا لِقُدْرَتِهِ وَلَمْ يَتَّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ (رَوَاهُ أبُو مَنصُور البَغدَاديّ فِي الفَرْقِ بَيْنَ الفِرَق)
“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘arsy untuk menunjukkan kekuasaan-Nya dan bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya”. (Diriwayatkan oleh Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firq)[1].
Ayat ketiga dari QS. al-Ikhlash memberikan penjelasan dalam penafian, peniadaan dan pengingkaran terhadap keyakinan yang menyebutkan bahwa Allah sebagai benda(Jism). Juga bantahan terhadap keyakinan bahwa Allah mempunyai bagian-bagian yang terpisah-pisah dari-Nya. Sekaligus, penjelasan dalam menafikan bahwa Allah sebagai bagian dari sesuatu yang lain.
Dalam ayat ke tiga ini secara jelas dinyatakan bahwa Allah bukan sebagai “asal” atau “bahan” (Walid) bagi sesuatu, dan juga bukan “cabang” (Walad) dari sesuatu yang lain. Ayat ini berisi bantahan terhadap doktrin trinitas yang diyakini orang-orang Nasrani. Doktrin yang menyatakan ada tiga unsur ketuhanan yang kesemuanya kembali pada unsur yang tunggal. Ayat ini juga merupakan bantahan terhadap keyakinan atau doktrin orang-orang Majusi yang menyatakan bahwa tuhan ada dua, yaitu tuhan kebaikan dan tuhan keburukan.
Faham serupa yang tak kalah sesatnya adalah faham yang dianut oleh segolongan orang yang terlena dalam kebodohannya (al-maghrurun). Mereka menganggap bahwa diri mereka adalah kaum Sufi yang telah mencapai derajat “tinggi”. Padahal keyakinan mereka bertentangan dengan ajaran kaum Sufi sejati sendiri. Mereka berkeyakinan bahwa keseluruhan alam ini adalah sebagai Dzat Allah. Dan setiap komponen-komponen yang ada di dalam alam ini adalah bagian-bagian dari Dzat Allah. Keyakinan mereka ini dikenal dengan nama akidah Wahdah al-Wujud. Mereka menganggap bahwa manusia, hewan, Malaikat, tumbuh-tumbuhan, benda mati dan lain sebagainya adalah bagian dari Dzat Allah.
Faham semacam ini telah berkembang di sebagaian kalangan yang mengaku sebagai pengikut tarekat dan pengamal “shalawat” yang menyimpang. Keyakinan Wahdah al-Wujudini lebih sesat dari pada kekufuran orang-orang Nasrani dan Majusi. Kaum Nasrani berkeyakinan ada tiga tuhan, kaum Majusi berkeyakinan adanya dua tuhan, sementara mereka yang meyakini Wahdah al-Wujud meyakini bahwa segala sesuatu di alam ini adalah bagian-bagian dari dzat Tuhan. Kekufuran semacam ini jelas lebih buruk dari pada kekufuran kaum Nasrani dan kaum Majusi.
Ada pula faham sesat lainnya, yang juga merupakan kekufuran. Ialah keyakinan yang menyatakan bahwa Allah menyatu dengan sebagian mahluk-Nya. Kaum yang berkeyakinan ini mengatakan: “Apabila seorang hamba telah mencapai derajat ibadah tertentu, maka Allah akan menempati dan menyatu dengan tubuh orang tersebut”. Karenanya, di antara mereka ada yang menyembah sebagian lainnya yang mereka anggap telah sampai pada batasan tersebut dalam ibadahnya tersebut. Keyakinan sesat ini dikenal dengan nama akidah Hulul.
Dua keyakinan di atas, yaitu akidah Wahdah al-Wujud dan Hulul telah meracuni sebagian orang awam yang hanya mengutamakan dzikir tanpa mempelajari akidah yang benar dan cara beragama mereka. Dari sini mereka menganggap bahwa perbuatan mereka adalah jaminan keselamatan di akhirat kelak. Mereka juga menganggap bahwa mereka telah berbuat kebaikan “banyak” dan “besar” tiada tara. Padahal pada hakikatnya mereka tenggelam dalam kekufuran karena keyakinan sesat tersebut.
Asy-Syekh ‘Abd al-Ghani an-Nabulsi berkata:
إنَّ اللهَ لاَ يَحُلُّ فِي شَيءٍ وَلاَ يَنْحَلُّ مِنْهُ شَيءٌ وَلاَ يَحُلُّ فِيْهِ شَيءٌ لَيْسَ كَمِثلِهِ شَيءٌ
“Sesungguhnya Allah tidak bertempat atau menyatu pada sesuatu apapun, dan tidak berpisah dari-Nya sesuatu apapun, serta tidak menyatu dengan-Nya sesuatu apapun. Dia tidak menyerupai segala sesuatu apapun dari makhluk-Nya”[2].
Al-Imam Muhyiddin Ibn al-‘Arabi berkata:
مَنْ قَالَ بِالحُلُولِ فَدِيْنُهُ مَعْلُولٌ وَمَا قَالَ بالاتّحَادِ إلاَّ أهْلُ الالْحَاد (ذكَرهُ أبُو الهُدَى الصَّيَّادي فِي رسَالتِهِ
“Barangsiapa berkata (berkeyakinan) Hulul maka agamanya cacat. Dan tidak menyatakanIttihad (Wahdah al-Wujud) kecuali golongan yang menyimpang (dari Islam)”. (Dituturkan oleh Abu al-Huda al-Shayyadi dalam Risalah-nya)
Ayat keempat dari QS. al-Ikhlash merupakan penjelasan bahwa Allah tidak meyerupai segala makhluk-Nya. Ayat tersebut merupakan ayat Muhkamat; artinya merupakan ayat yang jelas maknanya dan tidak mengandung faham takwil. Pemaknaan ayat ini sama dengan pemaknaan ayat Muhkamat lainnya, yaitu dalam firman Allah:
لَيْسَ كَمِثلِهِ شَيءٌ (الشورى:11)
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhlukNya, baik dari satu segi maupun semua segi dan, tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11).
Dalam menafsirkan QS. al-Ikhlash: 4 ini, para ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (yaitu segala sesuatu selain Allah) terbagi kepada dua bagian. Yaitu; benda dan sifat benda. Yang pertama; Benda, terbagi kepada dua bagian, yaitu:
- Hajm Lathif: Yaitu benda yang tidak dapat dipegang atau disentuh oleh tangan. Seperti cahaya, kegelapan, ruh, dan lain sebagainya.
- Hajm Katsif: Yaitu benda yang dapat dipegang atau disentuh oleh tangan. Seperti manusia, dan benda-benda padat lainnya.
Adapun yang kedua, yaitu sifat benda, artinya sifat-sifat dari Hajm Lathif dan sifat-sifat dariHajm Katsif. Contohnya bergerak, diam, berubah, bersemayam, duduk, beridiri, terlentang, berada di tempat dan arah (baik atas, bawah, kanan, kiri, depan maupun belakang), turun, naik, panas, dingin, memiliki warna, bentuk, dan sebagainya.
Ayat QS. al-Ikhlash: 4 ini menjelaskan kepada kita bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya. Bahwa Allah bukan sebagai Hajm Lathif, juga bukan sebagai Hajm Katsif, dan bahwa Allah tidak disifati dengan sifat-sifat benda tersebut. Dari ayat ini para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah mengambil dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Karena bila Allah mempunyai tempat dan arah maka berarti Allah mempunyai banyak keserupaan dengan makhluk-Nya, dan mempunyai dimensi, yaitu panjang, lebar, dan kedalaman. Padahal sesuatu yang memiliki dimensi semacam ini pastilah merupakan makhluk, bukan sebagai Tuhan. Mustahil Allah membutuhkan kepada yang menjadikan-Nya dalam dimensi tersebut. Karena bila Allah “membutuhkan” maka berarti Allah lemah, dan tidak layak dituhankan.
Di antara Imam terkemuka di kalangan Ahlussunnah, al-Imam Ahmad ibn Hanbal, dan al-Imam Dzu al-Nun al-Mishri yang seorang sufi kenamaan, juga salah seorang murid terkemuka al-Imam Malik ibn Anas, berkata:
مَهْمَا تَصَوَّرْتَ بِبَالِكَ فَاللهُ بِخِلاَفِ ذلِكَ (رَوَاهُ عن الامَام أحْمَد أبُو الفَضْل التَّمِيْميّ فِي اعتقاد الامام المُبَجَّل أحمَد بن حَنْبَل وَرَواهُ عنْ ذَي النُّون المِصْريّ الخَطيبُ البَغْدَاديّ في تَاريْخ بَغْدَاد)
“Apapun yang terlintas dalam benakmu tentang Allah, maka Allah tidak seperti demikian itu”. (Dikutip dari al-Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al-Fadl al-Tamimi dalam kitab I'tiqad al-Imam al-Mubajjal Ahmad ibn Hanbal. Dan diriwayatkan dari al-Imam Dzu al-Nun al-Mishri oleh al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh Baghdad)
Semoga kita termasuk Ahl al-Ma’rifah dan mengimani Allah dengan seteguh-teguhnya keimanan seperti yang telah digariskan Rasulullah dan para sahabatnya.
Amin.
[1] al-Farq Bain al-Firaq, h. 333
0 komentar:
JANGAN RAGU!
Tuliskanlah apa yang ingin anda sampaikan ... !