Puji dan syukur bagi Allah semata, yang telah menjadikan Wudhu’ seutama-utama peribadatan, kunci sholat, penghapus dosa-dosa kecil, pencemerlang wajah serta cahaya bagi pelakunya di hari kiamat kelak.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, baginda Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassallam, juga kepada keluarga ahlul baitnya serta seluruh umat yang setia mengikuti risalah yang dibawa oleh beliau Shalallaahu Alaihi Wassallam sampai akhir jaman.
Para pembaca yang mulia,
Bagus tidaknya wudhu' seseorang akan mempengaruhi sah atau tidaknya sholat yang akan ditegakkannya. Ia merupakan syarat sahnya sholat seseorang. Ibadah sholat tidak akan sah dan tidak diterima di sisi Allah tanpa berwudhu’ sebelumnya, bagi seorang yang berhadats.
Dalil:
HR Bukhari:6440-Muslim No.440. Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam bersabda: "Allah tidak akan menerima shalat seseorang diantara kalian bila berhadats sampai dia ber-Wudhu'."
Mengingat begitu banyaknya masalah-masalah penting yang berkaitan dengan wudhu’ kaum wanita dan wudhu’ secara umum, maka untuk mempelajari tata cara wudhu’ kaum wanita dan masalah-masalah penting yang berkaitan dengannya, kami berharap, semoga pembahasan dan pelajaran singkat ini akan menuntun ibadah kita-terutama kaum wanita-, menuju kesempurnaan dan kesesuaian dengan petunjuk Al-Qur’an dan bimbingan sunnah nabawiyyah shohihah dari Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam.
SIFAT WUDHU’ KAUM WANITA
Bila seseorang bertanya, bagaimanakah sifat wudhu’ kaum wanita?
Jawabnya adalah: “sama persis seperti wudhu kaum pria.” [lihat kajian kita sebelumnya di sini]
KERUDUNG DAN WUDHU’ KAUM WANITA
Ketika seseorang wanita berwudhu’, sedangkan ia memakai kerudung dan takut tertimpa kemudharatan bila mengusap pada kepalanya-karena dingin dan lain-lainnya, diperbolehkan mengusap pada kerudungnya ketika membasuh kepalanya.
Dasar dari kebolehannya yaitu Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam.
“Ketika memakai penutup kepala tersebut atau sorbannya sebagai ganti dari dari membasuh kepala, dan kerudung semisalnya, karena itulah dikiaskan kepadanya dan hal ini telah dipraktekkan oleh istri beliau Shalallaahu Alaihi Wassallam, yaitu Ummu Salamah r.a. (HR Bukhari: No. 205 ⁽¹°⁾ & No.275 ⁽¹¹⁾/Majmu’ Fatawa 21/218 ⁽¹²⁾)
WUDHU’ WANITA DAN RAMBUT PALSU
Allah telah memberi kepada kaum wanita suatu karunia mahkota yang indah, yang berupa rambut yang bak mayang terurai di kepalanya. Wanita dianjurkan memuliakan mahkotanya yang indah, merawat dan meriasnya dengan sebaik-baiknya, namun tidak diperkenankan menyambungnya dengan rambut palsu (cemara)!
Bilamana kaum wanita menyambung atau memasang rambut palsu pada kepalanya ketika berwudhu’, maka diwajibkan melepas rambut palsu tersebut, sehingga ia dapat mengusap pada rambut aslinya dan dengannya ia telah melaksanakan perintah Allah Ta’ala agar membasuh kepala-kepala mereka ketika berwudhu’.
Jika rambut palsu itu tidak ia lepas, maka berarti ia tidak membasuh pada kepalanya sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam ayat wudhu’, namun ia membasuh pada rambut palsunya dan dengan demikian wudhu’nya tidak sah.
Bagaimana dengan wanita yang rambutnya di sanggul?
Haruskah ia melepas sanggulnya setiap kali mandi junub?
Jawab: Tidak perlu!
Sesuai hadits riwayat ummu Salamah r.a. yang bertanya tentang hal diatas kepada Nabi SAW.“Ya, Rasulullah,! Saya seorang perempuan yang suka menyanggul rambut supaya rapi. Apakah harus kulepas sanggulku setiap kali mandi junub?
Jawab Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam, “Tidak perlu! Cukuplah anda tuangkan air di kepala anda tiga kali sauk.” (Shahih Muslim No. 278 KBC)
BILAMANA WANITA MENYEMIR RAMBUTNYA
Wanita yang rambutnya telah beruban, disunnahkan untuk menyemir rambutnya dengan selain semir berwarna hitam, berdasarkan keumuman perintah Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam agar orang yang beruban mengubah warna rambutnya.
Ketika seorang wanita menyemir rambutnya, maka jika semirnya tipis dan tidak menghalangi merasuknya air ke rambut, tidaklah mempengaruhi keabsahan wudhu’nya dan jika tebal sehingga seperti tanah liat pada rambutnya (gimbal) sehingga menghalangi masuknya air ke-rambut, maka tidaklah sah wudhu’nya bila tanpa menghilangkan semir jenis ini.
KOTORAN PADA KUKU DAN ANGGOTA WUDHU’
Bilamana seorang wanita melakukan wudhu’, ia wajib menghilangkan segala hal yang mencegah atau menghalangi sampainya air ke anggota wudhu’ secara merata lagi sempurna, agar dapat terlaksana perintah Nabi Shalallaahu Alaihi Wassallam untuk menyempurnakan wudhu’. (Lihat Shahih Abu Dawud No.142 & Shahih Tirmidzi No.788)
Adapun sedikit kotoran yang ada di bawah kuku dan anggota wudhu’ yang lainnya (yang tidak mencegah sampainya air ke kulit anggota wudhu’), tidaklah perlu dicuci karena hal itu tidak mempengaruhi keabsahan wudhu’ dan juga tidak adanya penjelasan dari Nabi Shalallaahu Alaihi Wassallam, kalau seandainya hal itu wajib dilakukan, tentunya dijelaskan oleh Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam.
Namun bilamana kukunya terlalu penjang dan banyak kotoran yang melekat padanya sehingga menghalangi merasuknya air kekulit yang merupakan anggota wudhu’, maka wajib dicuci kotoran dan apa yang ada dibawah kuku tersebut.
Bagaimana dengan Cutex atau cat kuku?
Jawab: Apabila cat kuku tersebut menghalangi masuknya air ke anggota wudhu’ maka harus dihilangkan dan jika tidak dihilangkan, maka wudhu’nya tidak sah. Dan adapun apabila tidak menghalangi merasuknya air keanggota wudhu’, maka tidaklah wajib dihilangkan dan sah wudhu’nya apabila melakukan wudhu’ dalam kondisi tersebut.
WUDHU’ PADA WANITA ‘ISTIHADHOH’
Apa maksud dan pengertian istihadhoh? Istihadhoh ialah suatu penyakit yang berupa keluarnya darah putih kekuning-kuningan seperti lendir dan gatal, yang keluar terus-terusan melalui jalan keluarnya haid (‘v) walau pun tidak pada masa haid. Istihadhoh itu adalah semacam penyakit (keputihan atau pektay).
Jika terjadi hal yang sedemikian itu, maka bagaimanakah tata cara wudhu’ kaum wanita yang terkena penyakit ini? Untuk menjawab masalah ini marilah kita simak satu hadits berikut ini:
Dari ‘Aisyah r.a. sesungguhnya Fatimah binti Hubaisy telah datang kepada Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam dan bertanya, katanya: “Saya ini seorang wanita yang selalu istihadhoh, saya tidak pernah suci, apakah saya boleh meninggalkan shalat?” Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam menjawab: “Tidak boleh! Istihadhoh itu suatu penyakit, bukan haid! Tinggalkan sholat pada hari-hari waktu keluarnya haid lalu mandi dan berwudhu’lah untuk tiap-tiap sholat, kemudian lakukan sholat, walaupun darah menetes pada tikar.” (Shahih Ibnu Majjah No.629 & Shahih Muslim No. 2828)
Hadits ini menunjukkan bahwa bagi kaum wanita yang terkena istihadhoh, hendaklah ia berwudhu’ setiap kali hendak sholat dengan wudhu’nya tersebut kecuali hanya satu sholat fardhu, baik sholat fardhu pada waktunya ataupun qodho’. Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama. (Fathul Bari 1 [409-410]).
Wanita yang terkena penyakit istihadhoh diperbolehkan menjamak dua sholat (sholat Dhuhur dengan sholat Ashar, sholat Magrib dan sholat ‘Isya’) dengan satu kali mandi (seperti mandi junub) dan satu kali mandi untuk sholat shubuh, karena Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam pernah memerintahkan Hammah binti Jahsay dan Sahlah binti Sahl dengan hal ini. (Shahih Abu Dawud No.294 s/d 296)
Apakah wanita haid wajib mengqadha sholat?
Jawabnya: Tidak!
Sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Mu’adzah r.a.katanya, “Aku bertanya kepada ummu ‘Aisyah: “Mengapa orang haid wajib meng-qadha puasa , tetapi tidak wajib meng-qadha sholat?” Jawab ummu ‘Aisyah : “Itulah suatu keuntungan bagi kita (wanita). Kita diwajibkan meng-qadha puasa tetapi tidak diwajibkan meng-qadha sholat.” (Shahih Muslim No.285-286)
WUDHU’ SETELAH MANDI JANABAT
Seorang wanita yang telah mandi janabat, tidak wajib untuk berwudhu’ sesudahnya dan mandinya telah mencukupi dari wudhu’.
Apa dasar/dalil dari pernyataan ini?
Jawab: sebagaimana yang telah disebutkan dalam “Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam tidaklah berwudhu’ setelah mandi janabathadits shohihin. (Hadits Shahih riwayat Ahmad No.430; Shahih Tirimidzi No.107 Pustaka Azzam 2006; Shahih Abu Dawud No.250, Pustaka Azzam 2006; Shahih Ibnu Majjah No.579, Pustaka Azzam 2007;), Dan Ibnu ‘Umar ketika ditanya tentang wudhu’ setelah mandi janabat, beliau menjawab: “Adakah wudhu’ yang lebih menyeluruh dan sempurna dibandingkan mandi (janabat)? (Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam mushonnaf-nya 1/68-69)
WANITA ‘MENYENTUH’ KAUM LAKI-LAKI SETELAH WUDHU’
Ada sebuah permasalahan yang banyak ditanyakan oleh kaum wanita, yaitu bilamana seorang wanita bersentuhan dengan kaum laki-laki setelah berwudhu,’ maka batal atau tidakkah wudhu’nya? Dan sedemikian pula sebaliknya, batalkah wudhu’ seorang laki-laki bila menyentuh kaum wanita setelah berwudhu’? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita simak kajian di bawah ini:
Seorang ulama besar dan terkemuka yaitu Imam Al Imam Asy Syafi’i Rahimuhullah, dan ulama’ lainnya berijtihad bahwa menyentuh wanita adalah termasuk pembatal wudhu’. Mereka berdalil dengan firman Allah SWT: “Atau kalian ‘menyentuh’ wanita…” (QS An-Nisaa:43)
Tekstual dari ayat diatas menunjukkan “menyentuh” wanita termasuk pembatal wudhu’.
Inilah ijtihad mereka. Semoga Allah SWT merahmati mereka semua.
Sebagian ‘ulama yang lainnya berpendapat bahwa hal itu tidaklah membatalkan wudhu’. Mereka menafsirkan kata “menyentuh” pada ayat tersebut dengan artian Jima’ (senggama), seperti pendapat dari para shahabat dan ‘ulama besar seperti: Ibnu Abbas, Ali bin Abi Thalib; Ubay bin Ka’ab; Mujahid;, Thawus; Al Hasan Al Basri, ‘Ubaid bin ‘Umair; Said bin Jubair; Asy Sya’bi, Qotadah; dan, Muqatil bin Hayyan. [Lihat Nailul Author 1/218, Taudhilhul Ahkam 1/291, dan Tafsir Ibnu Katsir 2/222]
Tafsiran mereka ini diperkuat dengan hadits dari ‘Aisyah r.a., beliau berkata:
“Saya pernah tidur di depan Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam yang ketika itu beliau sedang shalat dalam keadaan kedua kakiku di arah kiblat beliau, maka ketika hendak sujud, beliau menyentuhku dengan ujung jarinya hingga akupun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku kembali membentangkan kedua kakiku.” (HR.Al Bukhari no. 328 dan Muslim no.512)
Dalam hadits yang lain, ‘Aisyah juga mengabarkan sbb:
“Di suatu malam,aku pernah kehilangan Rasulullah dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang ketika itu sedang dalam keadaan sujud dan sedang berdo’a: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu, dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu. Tidaklah dapat aku menghitung pujian atas-Mu sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu.” (HR.Muslim no.486)
Oleh karena itu seorang ulama ahli tafsir dari kalangan penganut madzhab Syafi’iyyah yaitu Al Imam Ibnu Katsir menafsirkan kata “menyentuh” itu adalah jima’ (senggama) berdasarkan hadits diatas. Dan berdasarkan ke dua hadits diatas itu pula, kita mendapat jawaban yang terang bahwa seorang wanita bila bersentuhan dengan kaum laki-laki setelah berwudhu’, maka wudhu’nya tidaklah batal dan inilah pendapat yang benar, Insya’ Allah.
TIDAK ADA WUDHU’ WAJIB KECUALI UNTUK SHOLAT
Wudhu’ hanya diwajibkan bagi orang yang hendak sholat sedangkan ia berhadats, adapun selain untuk sholat itu, tidak ada kewajiban berwudhu’ baginya. Wudhu’ untuk sholat wajib hukumnya, baik untuk sholat fardhu (wajib) yang lima waktu, maupun sholat-sholat sunnah, berdasarkan firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ
وَإِن كُنتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ
النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـكِن يُرِيدُ
لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan SHOLAT maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu JUNUB maka MANDILAH, Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (jamban-kakus) atau MENYENTUH perempuan lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi DIA hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-NYA bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS.al-Maidah [5]: 6)
KAPAN KAUM WANITA DI-SUNNAH-KAN BERWUDHU’?
1. Sebelum Sholat
Sholat tidak akan diterima oleh Allah SWT tanpa berwudhu’ terlebih dahulu. Sehingga wudhu’ merupakan syarat sahnya sholat.
Dalil:
Shahih Muslim No.176; Dari Abu Hurairah r.a., katanya Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam bersabda: "Tidak diterima shalat seseorang kamu, bila berhadas, sebelum dia ber-Wudhu' lebih dahulu." Disunnahkan untuk memperbaharui wudhu’ setiap kali sholat, walaupun masih dalam keadaan suci (belum batal). Hal ini sebagaimana kebiasaan Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam (Lihat HR.Bukhari no.214, dari shahabat Anas r.a.). Tentunya ini bukan perkara yang wajib, karena ‘Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam dalam perang Fathu Makkah (Penaklukan kota Makkah), beliau Shalallaahu Alaihi Wassallam sholat lima waktu hanya dengan sekali wudhu’. [Lihat HR.Muslim no.277, dari shahabat Buraidah r.a.]
Hadits ini memberikan faedah atas disunnahkannya berwudhu’ setiap kali hendak sholat, sebagaimana ia memberikan faedah bahwa satu kali wudhu’ dapat digunakan untuk beberapa kali sholat, selagi belum batal wudhu’nya dengan sebab hadats besar atau pun hadats kecil.
2. Memegang Mushaf Al-Qur’an
Al-Qur'an adalah Kalamullah (firman Allah), yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassallam sebagai Kitab Suci umat Islam. Dalam rangka memuliakan Al-Qur'an sebagai kalamullah (firman Allah), maka disunnahkan berwudhu' dahulu sebelum memegang kitab suci Al-Qur'an ini. Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam bersabda:
"Janganlah kamu menyentuh Al-Qur'an kecuali dalam keadaan suci".(HR. Malik no. 419 & Ad-Darimi no. 2166 dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dengan banyak riwayat di dalam Al-Irwa’).
Dengan dalil di atas mayoritas para ulama berpendapat bahwa seorang yang berhadats tidak boleh memegang atau menyentuh Al-Qur’an sampai dia berwudhu’.
Demikian juga halnya ketika membaca Al-Qur’an atau berdzikir, maka disunnahkan berwudhu’ terlebih dahulu sebagaimana hadits riwayat Muhajir bin Qunfudz, dimana beliau mengatakan, “Saya mengucapkan salam kepada Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam, sedangkan beliau dalam keadaan berwudhu, maka beliau menjawab salam setelah selesai dari wudu’nya, dan kemudian beliau bersabda: "Sesungguhnya tidaklah mencegahku untuk menjawab salam darimu, kecuali bahwasanya aku tidak menyukai menyebut nama Allah (berdzikir) kecuali dalam keadaan suci." (HR.Abu Dawud no.18 dishahihkan Asy Syaikh Al-Albani).
Dan, sesungguhnya, membaca Al-Qur'an adalah semulia-mulia dzikir kepada Allah SWT.
Jika demikian, maka tidaklah selayaknya seseorang membaca Al-Qur’an dalam keadaan tidak suci dari hadats (besar maupun kecil).
3. Ketika Hendak Tidur
Tentang sunnah ini, Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam telah menjelaskan dalam sabda beliau yang diriwayatkan dari shahabat Al-Barra' bin 'Azib r.a., bahwasanya beliau bersabda: "Apabila engkau mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhu'lah sebagaimana wudhu'mu untuk sholat, lalu berbaringlah pada lambungmu yang kanan." (HR.Bukhari No.234 KBC M’sia-2005).
4. Orang Yang Sedang Junub Jika Hendak Mengulang jima’, hendak makan, atau tidur.
Junub merupakan hadats besar. Cara bersuci yang bisa menghilangkan dari hadats besar adalah dengan mandi janabah. Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam telah memberikan tuntunan tentang tata cara mandi tersebut. Dalam mandi janabah disunnahkan berwudhu’ setelah membersihkan alat kelaminnya terlebih dahulu. (Pembahasan secara lengkap di hadirkan pada akhir kajian ini)
Terkait dengan junub dikarenakan hubungan intim dengan suami, bila ia ingin mengulanginya lagi maka disunnahkan untuk berwudhu' terlebih dahulu. Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam bersabda: "Apabila seseorang telah berhubungan (intim) dengan istrinya, kemudian ingin mengulanginya lagi maka hendaklah berwudhu' terlebih dahulu." (HR.Muslim no.308, At-Tirmidzi no.121; An-Nasa’i no. 262, Ibnu Majah no.580 & Ahmad no.10725, dari shahabat Abu Sa'id Al-Khudri r.a, dan dishahihkan Asy Syaikh Al-Albani dalam Ats Tsamanul Mustathob hal.5).
Demikian pula bagi orang yang junub ketika mau makan, maka hendaknya berwudhu’ terlebih dulu. Sebagaimana hadits ‘Aisyah r.a. beliau berkata: “Sesungguhnya Nabi Shalallaahu Alaihi Wassallam apabila dalam keadaan junub, lantas menginginkan untuk makan-minum atau tidur, maka beliau berwudhu’ sebagaimana wudhu’ untuk sholat.” (HR.Muslim no.305 dan Abu Dawud no.193)
Bagi orang yang junub di malam hari dan ia hendak menunda mandi janabah hingga bangun tidur, maka hendaknya sebelum tidur, ia membersihkan alat kelaminnya , kemudian berwudhu’. Ummul Mu.minin ‘Aisyah r.a berkata: “Dahulu Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam bila hendak tidur sedangkan beliau dalam keadaan junub maka beliau membersihkan alat kelaminnya lalu berwudhu’ (seperti wudhu’) untuk sholat.” (HR Al Bukhari no.288)
5. Sebelum Mandi Janabat
Dari ‘Aisyah r.a. beliau berkata: Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam apabila mandi janabat memulai dengan mencuci kedua belah telapak tangan beliau, kemudian menuangkan air dengan menggunakan telapak tangan kanannya kearah telapak kirinya, lalu mencuci farji (kemaluan)nya kemudian berwudhu’ sebagaimana wudhu’ untuk sholat.” (Shahih Bukhari No.248, KBC-2005)
6. Setelah Muntah
Al Imam An-Nawawi berkata: “Tidaklah batal wudhu’ karena keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul atau pun dubur) seperti berdarah akibat luka, bekam, muntah dan mimisan, baik keluarnya banyak ataupun sedikit.” (Al Majmu’, 2/63)
Apabila seorang muntah, meski pun hal itu tidak membatalkan wudhu’, namun disunnahkan untuk berwudhu’, sebagaimana hal ini telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Berkata Abu Darda, “Bahwasanya Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam muntah, maka beliau berbuka (dengan sebabnya) dan kemudian berwudhu.” (Shahih Tirmidzi no.87)
7. Setelah Menyentuh Farji (kemaluan)
Mayoritas ‘ulama’ berpendapat bahwa menyentuh kemaluan secara langsung (tanpa pembatas), baik itu dengan syahwat maupun tidak, merupakan perkara yang dapat membatalkan wudhu’. Mereka berdalil dengan hadits Busrah bin Shafwan, Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam bersabda: “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, maka janganlah sholat hingga berwudhu’.” (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Muqbil)
Akhirul kata, demikianlah kaifiyah (tata cara) wudhu’ yang kami petik dari hadits-hadits Rasulullah SAW dan yang dapat kita sajikan pada topik kita kali ini, semoga bermanfaat , khususnya bagi kaum muslimah sekalian. Wallahu A’lam Bis Showab.
Alhamdulillah, segala puja dan puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Robbul ‘Alamin. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassallam beserta keluarga, istri, para shahabatnya serta pengikut mereka dalam kebajikan hingga datangnya hari pembalasan nanti.
إِنّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِي ماً َ
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, ber-Shalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah Salam penghormatan kepadanya.” (QS Al-Ahzab [33]:5)
Dari tulisan ust. Abu Zahrah al-Anwar,Majalah Al-Mawaddah Edisi 2 Th. Ke-1 (dengan tambahan seperlunya)
0 komentar:
JANGAN RAGU!
Tuliskanlah apa yang ingin anda sampaikan ... !